Sepulang sekolah, seorang anak bijak berlari menuju Ibunya, dengan polos nya sang anak meminta sang Ibu untuk menunjukkan telapak kaki sang Ibu, si Ibu yang tak mengerti maksud si Anak hanya bisa menunjukkan telapak kakinya, dengan polos nya si Anak bertanya dengan penuh kebingungan "Bu, kok surga nya gak keliatan yah? aku mau liat surga, katanya ada di telapak kaki Ibu?".... (hening seketika)
Kejadian itu bisa saja terjadi pada kita, termasuk saya sendiri (nanti). Sekilas pertanyaan anak kecil itu terdengar lucu. Masa iya surga bisa keliatan di telapak kaki Ibu, Nak? Tapi yang membuat saya agak mengernyitkan dahi, kenapa seorang anak yang masih lugu diajarkan pemahaman yang belum sesuai dengan umurnya, bukankah lebih bijak kalo si Anak diajarkan tentang bagaimana cara menghormati Ibunya dengan pemilihan kata yang sesuai dengan daya serap anak tersebut? Oh ya, ini sih pendapat saya sendiri yah, setiap orang kan bebas berpendapat, dan mempunyai cara masing-masing untuk mengajar.
* * *
Mama...beli es Ma! Es tong-tong Ma!
Permintaan seperti itu sering kali saya dengar dari seorang anak, tapi yang sangat memprihatinkan bagi saya adalah manakala yang meminta itu seorang anak berusia kurang dari 2 thn. Saya pernah bertanya ke orang tua si Anak "kak, itu gapapa? gak sakit perut? memang udah pernah sebelumnya makan kaya gituan?", dengan bangga nya si Ibu menjawab "Ah gapapa, daripada nangis , biar kebal juga, udah sering itu mah dia makan, yang jorok itu kan enak". Hhm.. iya sih, yang jorok terkadang enak, hahaha, saya sendiri terkadang berpendapat begitu, tapi kan itu kondisinya beda, darimana jalannya coba, anak belum 2thn dikasi es tong-tong yang saya sendiri aja mikir-mikir makannya, nah ini..masih kecil banget!.
Saya tidak mau menyalahkan orangtuanya, mungkin memang 'baru' segitu pengetahuan si Ibu untuk anaknya, bermodalkan alasan biar kebal si Ibu malah terkesan memfasilitasi si Anak untuk mengkonsumsi makanan yang gak jelas cara pembuatannya.
Hikmah yang bisa saya pelajari dari kejadian ini, suatu saat jika saya memiliki anak sendiri, saya tidak akan mengikuti jejak si Ibu yang dengan beralasan biar kebal-daripada nangis. #Piss..untuksemuaibu-ibuyangtersinggung #tersinggungjugagapapa :)
* * *
Naftali, 2.5 th, Pintar nya bukan main, bukan bermaksud menyombongkan, tapi kenyataan nya memang seperti itu. Keponakan yang tingkahnya bak anak usia 5th, dengan polosnya tiap malam merayu "Onti mer, gendong dede dong,, tapi gendong kaya dede bayi yah".
Setiap kali saya ketahuan sedang menggendong Naftali sebelum tidur, saya selalu di tegur oleh mama saya, "Kog masih di gendong-gendong? udah besar juga, tar malah jadi manja loh". Dan percayalah tiap kali saya di tegur, saya membalas dengan memberikan pengertian bahwa 'sesungguhnya umur dia masih kecil, masih 2.5 thn yang masih butuh dimanja, sikap dia mungkin udh jauh lbh dewasa ketimbang umurnya, tapi jgn perlakukan dia seperti anak dewasa'.
Ada saat nya seorang anak yang sifatnya jauh lebih dewasa ketimbang umurnya meminta perhatian yang lebih, kalo saya bisa bilang, masih sangat wajar anak umur segitu digendong, terkecuali anak itu digendong seharian gak pernah lepas dari tangan kita, baru namanya gak wajar bukan?
Saya seringkali memikirkan banyak hal jika suatu saat saya punya anak sendiri? apakah saya bisa melakuakn yang terbaik buat anak saya? apakah saya akan sama dengan 'si Ibu-daripada nangis?' Oh, saya harap jangan. Saya sangat ingin menjadi Ibu yang membahagiakan anak saya kelak dengan cara yang lurus. Bagaimanapun juga meski saya belum menjadi seorang Ibu, tapi saya punya sedikit pengalaman dalam mengurus anak, yang akhirnya membukakan mata saya tentang bagaimana 'perjuangan mengurus anak'. Bukan dalam hal materi tentunya, tapi bagaimana cara mendidiknya.
Tulisan saya ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri beberapa tahun kedepan, akankah saya menjadi Ibu yang .... atau menjadi Ibu yang ... (?)